winteru.com - Gudeg, siapa pun orangnya, selama mereka
masih orang Indonesia, pastilah tau makanan jenis apa itu. Masakan khas
Yogyakarta ini terbuat dari nangka muda yang direbus selama beberapa jam
bersamaan dengan gula aren dan santan.
Seperti dilansir dari Liputan6.com, seorang wanita tua,
bernama Mbah Lindu kini tengah ramai menjadi buah bibir di media sosial.
Berjualan di sebuah pos ronda di Jalan Sosrowijayan kota Yogja, ia diduga
sebagai penjaja tertua hidangan itu karena usianya kini telah mencapai 97
tahun.
Bernama asli Setyo Utama atau yang lebih
akrab dipanggil Mbah Lindu, wanita yang berusia hampir satu abad ini
sudah memulai aktivitas berdagangnya di sebuah pos sejak pukul 5.00
hingga pukul 10.00 WIB. Mbah Lindu memuaskan perut para pelanggan baik warga
dan wisatawan yang berada tak jauh dari keramaian Malioboro.
Mbah Lindu berjualan dalam keadaan yang
amat sederhana. Ia duduk di antara panci dan wakul besar dibantu anak kelimanya
Ratiyah(55 th). Tak seperti di restoran, para pembeli
yang memilih menikmati makanan langsung di tempat pun harus puas duduk di
sebuah bangku 1,5 meter yang tersedia. Sementara itu, mereka yang pesan untuk
dibungkus, Mbah Lindu masih mengemasnya dengan cara kuno khas Yogja, dengan
'dipincuk' atau daun pisang dijepit dengan lidi.
"Si mbah sendiri yang memasaknya.
Resepnya masih sama dari dulu ya seperti ini," ujar Mbah Lindu dalam
bahasa Jawa, kepada Liputan6.com, Selasa (19/1/2016).
Munculnya Mbah Lindu dalam media sosial
bukan tanpa alasan, ia mengklaim telah berjualan gudeg sebelum tentara Jepang
masuk ke Jogja.
Nenek yang memiliki 5 anak dan 15 cucu
ini patut menjadi contoh, pasalnya ia telah berjualan nasi gudeg seumur
hidupnya, melestarikan budaya Jogja. Kesetiaannya terhadap gudeg telah
dibuktikan sejak dulu, ketika pada awalnya ia harus berjualan keliling
menelusuri Jogja dengan kaki dari rumahnya di Klebengan Caturtunggal E 6 Depok
Sleman.
"Nek kapane iki aku wis lali.
Sak durunge Jepang teko. (Tahunya kapan saya sudah lupa, tapi sebelum
Jepang datang). Wong Jepang datang itu saya sudah punya anak
satu. Jualannya ya saya gendong, lalu jalan kaki berkeliling. Zaman dulu kan
tidak ada bus kota," katanya.
Bukti lainnya adalah saat ia masih
menggunakan mata uang 'benggol' dan sen untuk transaksi dengan para pembelinya.
Ia teringat saat itu uang satu sen bisa mendapatkan lima pincuk nasi gudeg.
Berbeda era berbeda pula harga, kini pembeli harus rela mengeluarkan uang Rp 15
hingga 50 ribu untuk dapat menikmati gudegnya.
Peminat dapat memilih nasi gudeg dengan
pilihan lauk beragam seperti tahu, tempe, telur, sampai ayam. Menurut warga,
gudeg yang ia jual memang berbeda dan tahan lama, terutama jika disimpan secara
terpisah.
"Dulu pernah pakai wenggol terus
uang koin yang bolong tengahnya itu saya sudah mengalami. Wong jaman
itu satu sen bisa mendapat empat sampai lima pincuk gudeg. Harganya sekarang Rp
15 sampai 20 ribu, tapi yang dibungkus dengan besek harganya Rp 50 ribu,"
ujarnya.
Mbah Lindu mengaku menjaga rasa gudegnya
seperti saat ia berjualan dulu. Bahkan urusan meracik bumbu dan mengolah gudeg
pun ia masih turun tangan sendiri. Karena itulah beberapa pelanggan sering
datang menikmati gudegnya. Seniman seperti Jemek Supardi, Willie Wongso dan
tokoh lainnya sering makan gudegnya.
"Ada pakar kuliner Indonesia Willi
Wongso, lalu perancang busana terkenal itu siapa saya lupa, juga sering kesini.
Yang pakar kuliner itu sampai perintah sopirnya untuk beli lalu dibawa ke
Jakarta," kata putri kelimanya Mbah Lindu, Ratiyah.
Anak kelimanya itu juga bercerita bahwa
gudeg buatan ibunya juga sering dinikmati wisatawan mancanegara seperti
Malaysia dan Singapura. Bahkan gudeg Mbah Lindu ini dibawa dengan besek oleh
turis-turis itu.